Satu Banding Sembilan

Hiburan —Jumat, 21 May 2021 11:51
    Bagikan  
Satu Banding Sembilan
Foto|Pinterest

Yogyakarta, Depostjogja

Seorang anak menangis histeris. Sang ibu malah menarikkedua tangan anak itu dengan kasar lalu diseret hingga kedua sandal anaknya terlepas. Ibu itu tak mempedulikan hal tersebut sama sekali, dia tetap menarik paksa anaknya. Setelah melewati dua belokan gang, ibu itu ganti menjambak rambut anaknya lalu kembali menyeret paksa. Begitu sampai di rumah, sang ibu melemparkan anaknya ke lantai lalu menendangnya berulang kali sambil memaki-maki. Melihat hal itu, sambil memakai ikat pinggang dan masih bertelanjang dada, bapak sang anak berkata dengan santai, “Sudah, sudah.” Sang ibu lalu mencaci maki darah dagingnya tersebut sambil menceritakan kepada suaminya bahwa sang anak merengek minta jajan saat di pasar, lalu menangis sepanjang jalan pulang. Itulah pangkal mula terjadinya kebrutalan tersebut. Saya menyaksikan itu semua dan mencoba menyusul sang ibu, namun keduanya berjalan begitu cepat. Saat sampai di depan rumahnya, dan sang ibu sedang menendangi anaknya, saya mendengar sang bapak menghentikan itu semua dengan acuh tak acuh. Saya terdiam agak lama di depan rumah itu, bingung memutuskan apa yang harus dilakukan. Terlebih saya pun bukan lagi warga di situ, dan mereka pun pendatang baru yang tak mengenal siapa saya. Lalu saya pun bergegas ke rumah kakak dan baru menyadari bahwa tangan saya gemetar saat memegang gagang pintu.

Beberapa bulan sebelumnya, saat saya mengunjungi kakak di lingkungan di mana saya menghabiskan masa balita hingga masa awal menikah, saya mendapati seorang ibu tengah memaki-maki anaknya yang masih berumur 2 tahun. Ibu itu mendorong agak keras tubuh batita tersebut sambil berteriak memaki-maki tak ubahnya kepada orang dewasa. Semua itu terlihat dari pintu rumahnya yang terbuka. Saya lalu mendatangi rumah kakak dan menceritakan soal tetangganya tersebut. Kakanda pun keluar dari rumahnya lalu menghampiri ibu muda itu dan menasehatinya sebagai sesama ibu. Setelah itu semua, saya pun berbicara dengan kakanda ihwal sekian banyak pendatang baru di lingkungan tersebut yang sebagian besar adalah pedagang kecil atau buruh kasar. Kawasan padat penduduk tersebut berdiri di atas tanah milik Pemda. Dalam perjalanan waktu, sebagian penduduk lama telah meninggal dunia, sementara anak-anaknya menyebar ke berbagai daerah serta memiliki karir dan rumah sendiri. Maka rumah-rumah yang mulai kosong itu pun dikontrakan. Lama kelamaan, rumah-rumah tersebut cenderung tak terawat hingga akhirnya dikontrakan dengan harga murah. Maka bermunculanlah para pendatang baru.'

BACA JUGA: Viral! Tiktokers Diomelin Keluarga Artis

Jejak-jejak Trauma

Trauma berasal dari bahasa Yunani yang artinya luka atau cedera. Namun masyarakat Yunani memaksudkannya hanya pada luka fisik. Kini kata trauma dipakai juga untuk “luka” psikis yang diakibatkan oleh kekerasan fisik maupun psikis. Sudah lazim diketahui bahwa luka fisik bisa diobati dan sembuh melalui proses biologis tubuh. Namun “luka” psikis tak mudah diobati, butuh waktu lama, dan dampaknya pun berjangka panjang. Maka, anak yang mengalami trauma di masa kecilnya bisa menunjukkan gangguan emosional saat dewasa, entah itu berupa depresi, gangguan perilaku, kepercayaan diri yang rendah, lintasan pikiran untuk bunuh diri, dan berbagai masalah emosi negatif lainnya. Selain itu, trauma kekerasan ini pun tak jarang memicu perilaku kekerasan di masa remaja. Dalam kasus paling ekstrim, misalnya para pembunuh berantai, selalu memiliki sejarah trauma masa kecil yang suram. Bahkan kasus bunuh diri Chester Bennington, vokalis band Linkin Park, menunjukkan bahwa trauma masa kecil memang sesuatu yang sangat serius.

Faktanya tak semua orang tua menyadari hal ini. Bisa jadi karena mereka pun adalah orang dewasa yang menyimpan trauma masa kecilnya sendiri. Semua orang membawa luka dari masa kecilnya dengan tingkat keseriusan berbeda-beda, mulai dari inner child (sosok anak kecil dalam ketaksadaran nan selalu mencari-cari sesuatu yang hilang di masa kecilnya hingga dewasa) sampai menjadi pribadi yang terbelah sebagai “wahana” untuk lari dari kekerasan yang dialaminya. Namun tak sedikit juga mereka yang membawa luka masa kecil itu lalu bertekad untuk tak mengulangi hal serupa kepada anaknya.

Nah, dalam keseharian biasa terdengar komentar “Ah dasar anak-anak” atau “Biasa anak kecil” sebagai ungkapan orang dewasa bahwa anak-anak memang belum bisa berpikir matang, jadi harus dimaklumi. Akan tetapi, jika hal ini memang disadari dengan baik, maka apa kiranya alasan orang tua marah hingga tak terkendali, bahkan melakukan kekerasan fisik yang membekaskan trauma bagi darah dagingnya sendiri? Dalam kasus di atas, penjelasan yang biasanya mengemuka adalah masalah ekonomi dan pendidikan. Bahwa masalah kesulitan hidup sehari-hari, lilitan hutang, serta konflik rumah tangga menjadi alasan mengapa orang tua menjadikan anak sebagai pelampiasan kemarahannya. Lalu masalah rendahnya tingkat pendidikan orang tua serta bagaimana mereka bisa jadi hanya meniru cara dulu dibesarkan oleh orang tuanya juga. Hanya itu contoh pengasuhan anak yang dia tahu.

 BACA JUGA: Dewan Usulkan Bank Jateng Membidik Pasar Milenial

Melek Parenting

Apakah perlu pendidikan tinggi agar orang tua melek parenting? Melihat pemakaian istilah asing untuk “seni mengasuh dan mendidik anak” tersebut, terkesan bahwa hanya mereka yang berpendidikan tinggi dan termasuk kelas menengah atas saja yang bisa melek parenting. Terlebih banyak seminar dan kelas berbayar digelar di mana-mana. Namun Yeni Rachmawati, seorang doktor dan dosen UPI Bandung, menunjukkan sebaliknya. Bersama timnya, selama beberapa tahun mereka meneliti ethnoparenting, yaitu khazanah seni mengasuh dan mendidik anak dari berbagai etnis yang ada di Indonesia. Penelitiannya menunjukkan bahwa berbagai etnis di Indonesia memiliki ilmu parenting yang khas sesuai dengan budaya dan kondisi alam tempat mereka tinggal. Hal itu bahkan dimulai sejak masa kehamilan sang ibu. Lalu saat bayi dilahirkan beserta upacara menyambut kedatangannya, kemudian berbagai simbolisasi untuk mengidentifikasi “siapa gerangan sesungguhnya anak ini.” Berlanjut hingga saat anak itu tumbuh dan bagaimana semua anggota masyarakat di suku tersebut memiliki kesadaran untuk menjaga anak-anak serta para sesepuh yang mengajarkan secara lisan ihwal budaya mereka dalam obrolan di berbagai kesempatan.

Namun, hal tersebut tak lagi terjadi di masyarakat perkotaan. Perkembangan kota yang jauh lebih cepat jika dibandingkan desa justru menjadi daya magnetis tersendiri yang menarik banyak pendatang dari pedesaan. Umumnya mereka hidup sebagai masyarakat akar rumput yang lebih sering tersibukkan dengan urusan ekonomi. Individualisme ditambah dengan berbagai gemerlap kehidupan urban, membuat orang asyik pada dirinya sendiri, termasuk orang tua. Maka anak-anaknya pun dibiarkan seperti tumbuh rumput liar yang dipaksa harus bertahan tanpa pengasuhan yang baik. Akan tetapi anak pun tak bisa dirangkul terus menerus oleh orang tua agar tak steril dari kehidupan. Ini mengingatkan pada anak dalam esai Hermann Hesse, sastrawan pemenang nobel, yang tetap bermental kanak-kanak setelah disembunyikan selama bertahun-tahun oleh orang tuanya saat masa Perang Dunia II.

Zamzam A. Jamaluddin T. pernah mengatakan bahwa dalam hidupnya, setiap anak akan mengalami bagaimana dunia merenggut mereka. Mereka pun akan lari dari agama, lalu larut dalam kesenangan dunia dan pelepasan hasrat. Akan tetapi orang tua bisa menorehkan berbagai kenangan yang akan mengingatkan anak mereka untuk kembali kepada Tuhan. Pengandaiannya, jika ada 10 kenangan paling berkesan dalam hidup sang anak bersama orang tuanya, maka usahakan 6 adalah kenangan yang akan membawanya kembali ke agama. Kenangan itu dibentuk melalui sikap penghambaan yang menyentuh hati sang anak (bukan berupa dogma dan paksaan) serta teladan yang baik (bukan dibuat-buat, apalagi jika ternyata adalah kemunafikan). Selain itu, lanjut Zamzam, jika orang tua marah satu kali kepada anaknya, maka tutupi hal tersebut dengan sembilan ungkapan kasih sayang. Yang demikian itu agar jangan sampai satu kemarahan tersebut yang akan selalu diingat sang anak dan menjejak jadi trauma sepanjang hayatnya.[]

sumber : 

Alfathri Adlin

(Guru SMP Al-Kautsar, Ketua PICTS)

Editor: Putri
    Bagikan  

Berita Terkait