Arsenal Merambat, The Gunners Bangkit dari Keterpurukan.

Sepak Bola —Rabu, 22 Dec 2021 10:40
    Bagikan  
Arsenal Merambat, The Gunners Bangkit dari Keterpurukan.
Arsenal Merambat, The Gunners Bangkit dari Keterpurukan.- Pinterest

Oleh: Amir Machmud NS

DIAM-DIAM Arsenal memetik buah kesabaran.

Perjalanan memang masih panjang, dan mungkin harus terus merambat; namun di bawah arahan pelatih muda Mikael Arteta, perlahan-lahan The Gunners bangkit dari keterpurukan.

Selama bermusim-musim kompetisi, sejak Arsene Wenger mengakhiri tugas pada 2018, lalu dua pelatih pengganti -- Unai Emery dan Feddie Ljungberg -- datang dan pergi, Arsenal belum mampu kembali menjadi kekuatan yang ditakuti di Liga Primer.

Kini The Gunners melenggang di posisi aman klasemen. Hingga pekan kemarin, Alexandre Lacazette dkk menduduki peringkat keempat klasemen.

Sementara itu, para pemain mudanya menunjukkan diri sebagai penggawa-penggawa berkomitmen dan bermasa depan cerah. Dalam catatan, dari 27 gol yang dibukukan Arsenal, 14 di antaranya atau 52 persen dicetak oleh young guns-nya.

Dan, tampaknya Arsenal perlahan-laham bangkit dengan kekuatan segar, justru ketika sejumlah pemain senior memiliki masalahnya sendiri.

Mengapa di awal tulisan ini Gabriel Martinelli dkk saya sebut “memetik buah kesabaran”?

Ya, dalam realitas industri kompetisi, rata-rata klub tidak pernah punya kesabaran ketika menjalankan proyek restorasi tim dengan pelatih baru.

Begitu mudah manajemen klub main pecat hanya lantaran kekalahan dari sejumlah pertandingan. Desakan fans, juga opini pandit dan media, cepat dijadikan bahan kesimpulan pemecatan.

Manajemen sepak bola seperti tidak mengenal road map atau “peta jalan”. Jarang yang mau bersikap seperti ketika Manchester United membangun tim di bawah Alex Ferguson pada 1986. Baru empat tahun kemudian, yakni pada 1990 Setan Merah meraih gelar, Piala FA setelah sebelumnya menjalani hari-hari yang kurang menjanjikan.

Toh, setelah Sir Alex pensiun pada 2013, MU juga menghadapi kenyataan berlakunya budaya pemecatan pelatih. Dari David Moyes, Louis van Gaal, Jose Mourinho, hingga Ole Gunnar Solskjaer yang kini digantikan oleh Ralf Rangnick.

Baca juga: Mangli Sky View, Panorama Gunung Sumbing yang Memukau

Baca juga: Nglambor Beach in Gunung Kidul, the waves crashing with the Charming Giant Coral

Baca juga: Apresiasi Ketua Kadin Bandung Gelar Karya LKP-LPK Karya Jelita

Chemistry

Bagaimanapun, kekuatan keberadaan seorang pelatih tidak lepas dari chemistry dengan klub yang dia tangani, dan nyatanya si pelatih tidak cukup hanya bermodal reputasi dan tangan dingin.

Simaklah, kurang apa Jose “The Special One” Mourinho?

Setelah sukses membesut FC Porto, Chelsea, dan Internazionale Milan, lalu pindah ke Real Madrid, dia seperti kehilangan sentuhan ajaibnya. Mou tak terlalu sukses ketika balik ke Stamford Bridge.

Bersama MU dia memang sempat memberi harapan dengan meraih trofi Liga Europa, tetapi gagal di liga. Berikutnya, dia tidak sukses memoles Tottenham Hotspur, dan kini kita tunggu bagaimana perjuangannya menukangi AS Roma.

Sementara itum bersama Arsenal, Mikael Arteta menjadi salah satu di antara para eks pemain bereputasi yang menjadi manajer. Dalam angkatan ini tercatat Frank Lampard (Chelsea), Andrea Pirlo (Juventus), Wayne Rooney (Derby County), Xavi Hernandez (Al Sad, lalu Barcelona), dan Stevan Gerard (Glasgow Rangers, lalu Aston Villa).

Lampard dan Pirlo sudah diistirahatkan. Kini Arteta, Xavi, dan Gerard menjadi perhatian karena punya tanggung jawab besar “pemulihan”. 

Baca juga: Nglambor Beach in Gunung Kidul, the waves crashing with the Charming Giant Coral

Baca juga: Apresiasi Ketua Kadin Bandung Gelar Karya LKP-LPK Karya Jelita

Psikologi Arsenal

Paikologi Arsenal terutama dipengaruhi oleh masa-masa kegemilangan di bawah Arsene Wenger, yang bahkan mendapat predikat sebagai Mr Arsenal. Pria Prancis itu membendaharakan tiga gelar liga, tujuh Piala FA, dan tujuh trofi Community Shield.

Pasukan Gudang Peluru berjajar sengit dengan MU, Chelsea, dan Liverpool. Rivalitas personal Wenger dengan Sir Alex dan Jose Mourinho di Liga Primer menjadi “perang kembang” yang banyak mewarnai pemberitaan media. Arsenal menjadi tim yang berkarakter dengan identitas permainan umpan-umpan pendek yang sedap dipandang.

Selepas era Wenger pada 2018, Unai Emery datang dengan harapan yang membubung. Pelatih asal Spanyol itu berjejak bagus pula, namun tidak membawa chemistry psikologis dengan Arsenal. Walhasil dia hanya setahun berada di London, digantikan oleh legenda Arsenal asal Swedia, Freddie Ljungberg yang selama setahun tidak mempersembahkan apa pun.

Seiring dengan capaian-capaian yang tidak memuaskan, manajemen Arsenal mendatangkan alumninya, Mikael Arteta yang ketika itu menjadi asisten pelatih Pep Guardiola di Manchester City.

Arteta membawa Meriam London menggeliat, mempersembahkan titel Piala FA dan Community Shield 2019.

Pelatih kelahiran 26 Maret 1982 itu kini memadukan sejumlah pemain senior seperti Lacazette, Pierre-Emerick Aubameyang, Granit Xhaka, dan Nicolas Pepe.

Yang kini disiapkan sebagai kekuatan masa depan adalah Gabriel Martinelli, Gabriel Megalhaes, Bukayo Saka, Martin Odegaard, Emile Smith Rowe, dan Ben White. Mereka telah membuktikan sebagai anak-anak muda yang menjanjikan.

Odegaard dan Martinelli disebut-sebut sebagai mesin yang kini menghidupkan orkestrasi racikan Arteta. Juga sebagai senjata yang tak terduga. Sedangkan Bukayo Saka adalah aset tim nasional Inggris yang diperkirakan bakal terus berkembang.

Mikael Arteta diam-diam menjadi semacam simbol dan peringatan kepada klub-klub yang punya “tradisi” memecat pelatih. Padahal pelatih itu belum cukup untuk mentransformasi filosofi, ide-ide, dan kecerdasan taktiknya.

 -- Amir Machmud NS, wartawan dan kolumnis sepak bola, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah

Baca juga: Nglambor Beach in Gunung Kidul, the waves crashing with the Charming Giant Coral

Baca juga: Apresiasi Ketua Kadin Bandung Gelar Karya LKP-LPK Karya Jelita

 

 


Editor: Ajeng
    Bagikan  

Berita Terkait