Air dan Dagan, Menggugah Kesadaran Menjaga Mata Air

Suara Desa —Rabu, 23 Jun 2021 13:58
    Bagikan  
Air dan Dagan, Menggugah Kesadaran Menjaga Mata Air
Image/Istimewa

PURBALINGGA, DEPOSTJOGJA


Dagan, sebuah desa yang masuk wilayah kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga. Wilayah Dagan merupakan daerah hulu Sungai Klawing dan dianugerahi sejumlah mata air. Diketahui ada 8 mata air yang tersebar di sekitar desa Dagan, namun saat ini hanya ada 4 mata air yang masih mengalir. Mata air terbesar hingga saat ini dinamakan "Tuk Mudal", sedangkan tiga mata air lainnya sedang sekarat. Debit air yang besar dan tak pernah kering meski musim kemarau panjang menjadikan desa Dagan makmur. Pemanfaatan mata air dari Tuk Mudal diantaranya sebagai irigasi pertanian, sumber air minum (pamsimas) dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Setidaknya ada lima desa yang ikut merasakan manfaat Tuk Mudal, diantaranya desa Dagan, Tlagayasa, Palumbungan, Pakuncen, dan Majapura. Dapat dikatakan bahwa mata air Tuk Mudal merupakan nadi kehidupan bagi sebagian wilayah di Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga.

Namun sayang pemanfaatan yang begitu besar tidak dibarengi dengan upaya untuk menjaga dan menghormati air. Sungai saluran irigasi saat ini tak ubahnya seperti saluran pembuangan sampah. Bukan hanya sampah plastik, popok bayi, pembalut wanita, namun yang lebih miris adalah saluran buangan kamar mandi bahkan saluran tinja di buang ke sungai. Konon dahulu untuk keperluan minum, warga cukup mengambil air dari sungai, namun sekarang saya rasa tidak ada yang mau untuk minum dari air sungai. Hal yang lebih menggherankan bahwa sebagian warga desa sudah punya WC yang terhubung dengan spitank. Namun anehnya juga membangun saluran pembuangan menuju sungai.

BACA JUGA: No need to go abroad, this Rembang tourist destination is similar to a Chinese building

Pemerintah Desa sebagai suatu lembaga sah yang berhak dan berwenang nyatanya memandang persoalan air secara setengah hati. Memang menghormati air bukan hanya kewajiban pemdes, tapi merupakan kewajiban semua manusia. Namun pemerintah desa punya kewenangan untuk membuat aturan berkenaan dengan peraturan desa berskala lokal tentang lingkungan hidup. Berulang kali wacana dan usulan membuat aturan tentang lingkungan hidup, namun sampai saat tulisan ini saya tulis masih belum ada.

"Bergerak dong, jangan hanya minta pemdes yang bergerak!".
Apa dalam hati kalian muncul pertanyaan begitu?. Jika iya, sini aku bisikin. Kami para pemuda yang hanya segelintir melintir minoritas pula sudah berulang kali berusaha. Mulai dari sosialisasi sampai aksi. Pergerakan kami dimulai dari tahun 2016. Secara personal kami berbincang dengan warga, mulai mengumpulkan orang-orang yang satu pandangan, memulai bergerak dengan sosialisasi, dari memasang plang sampai menegur secara langsung. Melakukan kegiatan resik kali secara rutin, sampai kegiatan resik kali besar dengan beberapa komunitas ternama di Purbalingga, dan juga menanamkan cinta lingkungan hidup kepada anak-anak Sekolab Dasar.

BACA JUGA: Resep Makanan Tumis Udang Kemangi Pedas ala Rumahan


Nih sekedar bocoran, saya seorang guru di SD Dagan. Tahun 2018 beberapa kegiatan penanaman cinta lingkungan hidup saya terapkan, mau tau apa aja?. Ada lima program. Pertama sosialisasi pemilahan sampah dan cara pemanfaatannya, kedua praktik pemanfaatan sampah, dari membuat ecobrik sampai membuat kompos. Ketiga satu siswa satu tanaman, siswa saya ajak untuk berlatih bertanggung jawab merawat. Keempat saya buat satgas siswa cinta lingkungan, dimana anggotanya berkewajiban menasihati dan mengawasi seluruh siswa berkaitan dengan lingkungan sekolah. Kelima saya wajibkan anak didik membawa botol air minum bekas yang dikreasi sebagai tempat sampah portabel. Apakah berjalan? Iya berjalan. Hanya sekitar tiga bulan saja. Selanjutnya mereka kembali melakukan kebiasaan lama, miris hati ini.

Setidaknya ada dua penyebab utama siswa kembali kepada kebiasaan lama, di sekolah siswa cinta lingkungan bukan karena cinta, tapi pura-pura cinta alias takut karena ada guru. Rasa takut ini seketika hilang ketika siswa pulang ke rumah masing-masing, dan kebiasaan ortunya (tidak semua) juga buang sampah sembarangan, di sungai, kebun sendiri, kebun tetangga, selokan, jalan, pokoknya dimanapun.
"Guru sudah koordinasi dengan ortu untuk pengawasan belum?. Jangan asal nyalain ortu dong!". Ehem.. Sini saya teriakin "Sudah Pakai Banget" mulai dari koordinasi langsung "ngumpulin ortu", lewat WA, maupun kunjungan berkala.

BACA JUGA: Resep Makanan Ceker Mercon Gila ala Rumahan

Sosialisasi sudah, aksi sudah, penanaman cinta lingkungan sudah, usulan aturan ke desa sudah. Setidaknya sudah saya lakukan berbagai cara yang direkomendasikan oleh para rekan-rekan "pemerhati lingkungan" yang saya temui. Namun hasilnya masih jauh dari harapan. "Makanya gak usah tinggi-tinggi dong harapanmu!". Coba sejenak anda bayangkan, sekarang hanya tersisa 4 mata air. Itupun hanya satu yang masih lancar, 10 tahun lagi kira-kira bagaimana, jika manusianya masih kayak begini?.

"Ya kan bisa beli air galon di toserba, gitu aja kok rempong. Lebay luh!"
Ehh lu pikir air di toserba dari mana bambang!, Maaf, di atas adalah pembicaraan saya dengan bulu hidung saya sendiri, karena tak tahan bulu hidung saya cabut, makanya sekarang dia diem.

Setelah berulangkali berusaha dan belum berhasil, saya meyakini bahwa persoalan kebersihan lingkungan di Dagan tidak hanya karena kebiasaan atau kurangnya pemahaman tentang kebersihan. Ada hal lain. Saya yakin itu. Buat kalian yang baca tulisan ini, love you!.(Dim)


Editor: Putri
    Bagikan  

Berita Terkait