YOGYAKARTA, DEPOST JOGYA
Para Misionaris Belanda kelabakan mencari jalan bagaimana caranya agar orang-orang Jawa di Nusantara menjadi Kristen yang sungguh-sungguh. Masyarakat Jawa tak ingin tercerabut dari akar budayanya yang telah dipegang teguh jauh sebelum Kristen datang.
Lain halnya dengan para pekabar Injil awam Indo-Eropa yang memperhatikan budaya lokal. Maka muncullah jemaat bumiputera yang berpenampilan Jawa. Mereka disebut “jemaat Sadrach” karena pemimpinnya adalah seorang penginjil Jawa kharismatik, Kiai Sadrach. Meskipun bergelar kiai, Sadrach merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam misi menyebarkan ajaran Kristen alias penginjil di tanah Jawa.
Sebelum lebih jauh kita bahastentang Kiai Sadrach, perlu kita pahami terlebih dahulu mengenai istilah Kiai atau Kyai. Dilansir dari nu.or.id, Rais Syuriah PBNU KH. Mustofa Bisri atau yang dikenal dengan Gus Mus mengungkapkan, istilah "kyai" telah digunakan salah kaprah karena sebenarnya kyai adalah sebuah istilah khas budaya Jawa yang mempunyai makna orang terhormat di tengah masyarakat yang selalu melihat umat dengan mata kasih sayang. "Itu pendapat pribadi saya setelah saya pelajari dari mulai Imam Nawawi di Banten sampai Kyai Sepuh kita, dan saya tidak perlu pusing-pusing melarang pemakaian kyai kepada orang lain, wong sudah salah kaprah kok," ungkapnya. Jadi istilah Kiai tidak selalu identik dengan tokoh islam.
BACA JUGA: Tentang Apa itu Arti Cinta dan Pengorbanan, Kepada Mak Lampir Kita Belajar
Kembali ke Kiai Sadrach. Pria yang memiliki nama asli Radin ini tinggal di Karangjasa, sebuah desa terpencil di selatan Bagelan, bekas karesidenan di Jawa Tengah. Pada medio abad ke-19, Karangjasa dikenal sebagai tempat mengabarkan Injil oleh para pejabat kolonial Belanda, Misi Gereja-gereja Gereformeerd Belanda (ZGKN), dan orang-orang Kristen Jawa.
Namun, di sisi lain pemerintah kolonial menganggap Sadrach sebagai ancaman, ia diaggap sebagai pemimpin pemberontak yang mengancam stabilitas, ketentraman, dan ketertiban umum. Sedangkan para zending Belanda menganggap kekuasaan Sadrach dan kepemimpinannya sudah melampaui batas-batas kekristenan yang benar dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Calvinisme.
“Mereka menuduh Sadrach sebagai pemimpin orang Jawa sesat dan menganggap ajarannya sebagai campuran antara pemikiran Kristen dan bukan Kristen. Jemaatnya dianggap orang-orang Kristen palsu atau jemaat Islam yang berpakaian Kristen,” tulis Soetarman Soediman Partonadi dalam Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya. “Karenanya desa Karangjasa yang artinya ‘batu karang yang teguh berdiri’ menjadi Karangdosa yang artinya ‘batu karang dosa’.”
BACA JUGA: Inilah 6 Cara Mudah Mengatasi Stres, Jangan Biarkan Berlarut-Larut
Perjalanan Rohani Sang Kiai Kristen
Sejak kecil Radin sudah berkelana, mencari pengalaman hidup sekaligus mengurangi beban keluarganya yang miskin. Dari hasil penelitian Silas Sariman bertajuk “Strategi Misi Sadrach: Suatu Kajian yang Bersifat Sosio Historis” yang terhimpun dalam Jurnal Abdie (Vol. 3, No. 1 April 2019) terungkap bahwa Radin kemudian diadopsi oleh keluarga Islam-Jawa yang cukup berada.
Radin disekolahkan ke sebuah lembaga pendidikan umum yang juga mengajarkan pendalaman agama Islam. Selain itu, tulis Sariman dalam risetnya, Radin juga sempat mempelajari ilmu kebudayaan Jawa kepada Sis Kanoman atau Pak Kurmen di Semarang.
Saat berusia 17 tahun, tulis I. Sumanto dalam buku Kyai Sadrach: Seorang Pencari Kebenaran (1974), Radin belajar di salah satu pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur. Ia semakin memperdalam ajaran agama Islam dan mendapat tambahan nama menjadi Radin Abas. Tak hanya di Jombang, Radin juga memperdalam ilmu dan ajaran Islam di beberapa pondok pesantren lainnya di Jawa Timur, termasuk di Ponorogo.
Kemudian pada suatu hari, Radin pergi ke sebuah desa bernama Mojowarno. Di desa ini, ia bertemu dengan Jellesma, seorang misionaris Belanda. Inilah untuk pertamakalinya Radin bersinggungan dengan ajaran Kristen, tulis Sumanto dalam bukunya.
BACA JUGA: Resep Minuman: Cookies and Cream Milkshake
Jellesma pernah mengkristenkan seorang petani asal Jepara –daerah yang sama dengan tempat lahir Radin– bernama Ngabdullah. Kelak, Ngabdullah dikenal dengan nama Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, penyebar ajaran Kristen yang bermukim di lereng Gunung Kelud, Kediri.
Fragmen perjalanan hidup Ngabdullah alias Kiai Ibrahim Tunggul Wulung ini dikisahkan kembali oleh C. Guillot dalam hasil penelitiannya yang sudah dibukukan dengan judul Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa (1985). Setelah cukup lama berkelana mencari jati diri, termasuk dengan nyantri di berbagai pesantren dan mengalami banyak pengalaman batin, Radin kembali ke Semarang.
Ia pun tinggal di Kauman yang lekat sebagai daerah komunitas muslim. Radin bertemu seorang misionaris bernama W. Hoezoo di Semarang. Soetarman Soediman Partonadi, dalam Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya (2001) menjelaskan, Hoezoo dikirim ke Jawa pada 1849 oleh Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) atau Serikat Misionaris Negeri Belanda.
Radin pun belajar dan berguru kepada Hoezoo. Ia juga mengunjungi Sis Kanoman atau Pak Kurmen yang dulu pernah membimbingnya. Dari Pak Kurmen inilah Ia kemudian diperkenalkan dengan Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dan akhirnya masuk agama Kristen pada 14 April 1867 serta berganti nama menjadi Sadrach.
BACA JUGA: Postinglah Daku, Kau Kumaafkan
Lantaran ia pernah mondok dan punya pengikut, maka Radin pun kemudian dikenal sebagai Kiai Sadrach. Sejak saat itu, Kiai Sadrach melakukan tugasnya sebagai penyebar misi Kristen berkeliling Jawa. Dari Batavia, Jawa bagian tengah, kemudian ke Jawa bagian timur, sampai kemudian ia diangkat anak oleh seorang pendeta di Purworejo pada 1869.
Kiai Sadrach pun pernah ditangkap aparat kolonial Hindia Belanda dan dipenjara selama 3 bulan. Ia dianggap sebagai ancaman karena memiliki pengaruh kuat di kalangan rakyat. Beruntung, Sadrach kemudian dibebaskan lantaran tidak ada cukup bukti yang bisa menjeratnya.
Di Purworejo, Kiai Sadrach tercatat pernah membangun sebuah gereja dengan arsitektur unik. Tidak ada tanda salib di bagian atas gereja, melainkan lambang cakra. Selain itu, tata letak bangunan bagian dalam gereja ini hampir mirip dengan masjid. Di Purworejo pulallah Kiai Sadrach mengabdikan sisa hidupnya, hingga wafat pada 14 November 1924, tepat hari ini 96 tahun silam, dalam usia yang sudah sangat lanjut, yakni 89 tahun. (ES)