Bakpia, Oleh-oleh Khas Yogyakarta yang Lahir dari Akulturasi Budaya Jawa dan Cina

Kuliner —Kamis, 20 May 2021 13:20
    Bagikan  
Bakpia, Oleh-oleh Khas Yogyakarta yang Lahir dari Akulturasi Budaya Jawa dan Cina
Bakpia pertama kali dibawa oleh pendatang asal Tiongkok, Kwik Sun Kwok, pada 1940-an ke Yogyakarta. (Foto: Istimewa)

YOGYAKARTA, DEPOSTJOGJA

Jika mendengar bakpia tentu kita akan langsung ingat dengan Yogyakarta, karena seperti kita ketahui bersama bahwa kini makanan yang terbuat dari gulungan tepung yang biasanya berisi kacang hijau ini merupakan ikon oleh-oleh populer khas Yogyakarta.

Rasanya kurang lengkap jika berkunjung ke Yogyakarta tanpa membeli bakpia. Hampir di setiap sudut Yogyakarta terdapat toko oleh-oleh menjual makanan yang satu ini. Bakpia merupakan makanan yang terbuat dari tepung terigu yang dipanggang dengan isian berupa kacang hijau dicampur gula.

Tapi tahukah kita jika makanan yang kini menjadi khas Jogja ini ternyata sebenarnya bukan asli berasal dari Yogyakarta, melainkan berasal dari negeri tirai bamboo, Cina. Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan Amelia Puspita Sari dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan judul Bakpia Sebagai Bentuk Akulturasi Budaya Indonesia dan Tiongkok di Bidang Kuliner (Studi Kasus Bakpia 29), tertulis bakpia terbentuk dari pengaruh akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa.

Padupadanan kuliner ini berhasil menghidangkan cita rasa kue yang memiliki rasa enak dan nikmat. Bakpia pun menjadi bukti, bahwa benturan budaya itu tidaklah selalu berbahaya. Secara epistimologis, bakpia berasal dari dialek Hokkian dengan nama asli Tou Luk Pia yang secara harfiah artinya kue atau roti yang berisikan daging.

Dan dewasa ini, di Indonesia nama makanan ini dikenal sebagai pia atau kue pia. Bakpia pertama kali dibawa oleh pendatang asal Tiongkok, Kwik Sun Kwok, pada 1940-an ke Yogyakarta.

Baca Juga: Inilah 10 Makanan Khas Jawa Tengah yang Paling Populer

Kala itu, Kwik menyewa sebidang tanah di Kampung Suryowijayan, Kecamatan Mantrijeron, Yogyakarta milik seorang warga lokal bernama Niti Gurnito. Awalnya, bakpia ini dibuat menggunakan isian daging dan minyak dari babi. Tapi kemudian bakpia dimodifikasi menjadi kue yang tidak lagi menggunakan minyak babi yang diisi oleh kacang hijau.

Buah dari adaptasi cita rasa bakpia yang disesuaikan dengan lidah masyarakat Yogyakarta ini kemduian mulai digemari oleh banyak orang, hingga akhirnya diterima oleh semua lapisan masyarakat.

Pada medio tahun 80-an, bakpia kian populer dan mulai bermunculan produsen-produsen rumahan bakpia di kawasan Pathuk. Para penjual membuka toko di rumahnya masing-masing untuk memasarkan bakpia buatannya.

Bakpia dikemas menggunakan dus atau kertas karton. Lambat laun bakpia ini kemudian dikenal dengan nama ‘Bakpia Pathuk’. Seperti dikutip dari Jalan-Jalan Kuliner Aseli Jogja (Suryo Sukendro, 2009), pada masa itu, para produsen bakpia belum mengenal istilah merek dagang, sehingga menjualnya dengan merek dagang berupa nomer rumah pembuatnya seperti Bakpia Pathuk 25, 75 dan masih banyak lagi.

Label Bakpia dengan merek dagang nomor rumah ini pun masih bertahan hingga saat ini. Seiring dengan berkembangnya waktu dan banyaknya permintaan dari pelanggan, Bakpia Pathuk tidak hanya berisi kacang hijau saja, dan berinovasi dengan berbagai varian isi baru.

Baca Juga: Pantai Timang, Liburan Anti Mainstrem di Gunung Kidul Jogja

Seperti kita tahu, saat ini bakpia disajikan dengan varian isi baru yang inovatif seperti keju, ketan hitam, ubi, pandan, hingga coklat. Di Jogja, sentra bakpia lain selain Pathuk adalah bakpia Glagahsari yang terletak di Jalan Glagahsari.

Jalan ini membentang dari utara-selatan yang menghubungkan antara Jalan Kusumanegara dengan terminal lama Umbulharjo. Popularitas bakpia Glagahsari memang tak sebesar bakpia Pathuk, meski kurang popoler, namun bakpia Glagahsari ini memiliki citarasa yang khas dan memiliki pelanggan tersendiri di Jogja. (EK)

Editor: Ajeng
    Bagikan  

Berita Terkait