Jejak Sejarah Gudeg, Makanan Khas Yogyakarta yang Menjadi Warisan Nusantara

Kuliner —Sabtu, 22 May 2021 09:32
    Bagikan  
Jejak Sejarah Gudeg, Makanan Khas Yogyakarta yang Menjadi Warisan Nusantara
Proses memasaknya itu hangudeg yang berarti “diaduk-aduk”, sehingga makanan tersebut pada akhirnya dikenal dengan sebutan Gudeg. (Foto: Pinterest)

Yogyakarta, Depostjogja

Yogyakarta dikenal sebagai salah satu tempat yang terkenal dengan surga kuliner. Pasalnya banyak penganan khas dari sana, Gudeg salah satunya. Dikenal sebagai salah satu jenis kuliner khas Jogja, gudeg mempunyai sejarah Panjang sebelum akhirnya menjadi salah satu khas kota Pendidikan ini.

Berdasarkan catatan sejarah, makanan tradisional yang hingga kini masih banyak dicari dan disukai oleh lintas golongan, baik oleh raja-raja dan kalangan bangsawan, maupun kalangan prajurit, pegawai keraton, kaum pekerja, maupun rakyat kebanyakan.

Bagi wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta, tak lengkap rasanya jika tidak mencicipi gudeg. Pada umumnya gudeg terbuat dari nangka muda atau gori yang diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan cita rasa legit, manis, dan gurih.

Dan ada dua jenis gudeg yang terbuat dari gori, yakni gudeg basah dan gudeg kering. Sebagai pelengkap, gudeg biasanya disajikan bersama tahu, tempe, ayam, atau telur, yang dimasak dengan cara dibacem, dan tentunya ditambah sambal terasi yang akan nikmat ketika dimakan dengan nasi putih panas.

Tak hanya gori, gudeg pun bisa dibuat dari putik bunga kelapa atau manggar, terkadang ditambahkan rebung atau bambu muda dan tambahan potongan daging. Gudeg manggar memiliki citarasa yang unik, teksturnya yang agak alot, dan tidak terlalu manis seperti gudeg nangka.

BACA JUGA: Palestine Under Attack

Namun, seiring berjalannya waktu kian langkanya bahan menjadikan gudeg manggar kini agak sulit ditemui, hanya di beberapa tempat di Yogyakarta yang masih menyediakan gudeg jenis ini. Gudeg manggar justru kerap disajikan di resto-resto khusus atau di hotel-hotel berbintang dan konon digemari oleh kalangan atas.

Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa gudeg ini umumnya memiliki sejarah panjang. Makanan ini bahkan sudah hadir sebelum Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta berdiri. Konon, resep gudeg ini ditemukan pada masa Panembahan Senopati (1587-1601), pendiri Kesultanan Mataram Islam yang juga kakek Sultan Agung. Ketika akan mendirikan Kesultanan Mataram Islam, Panembahan Senopati harus membuka hutan belantara yang dikenal keluarga Keraton Yogyakarta.

Sejarah Tercipta Yogyakarta dan Gudeg di Dalamnya

Seperti telah dijelaskan di sebutan Alas Mentaok. Para prajurit dan kaum pekerja bersama-sama membabat hutan yang kelak bernama Yogyakarta ini. Ternyata, di hutan ini banyak terdapat pohon nangka dan pohon kelapa.

Kemudian nangka muda dan kelapa itu diolah menjadi santapan untuk dimakan bersama. Nangka muda dimasak dengan santan dari kelapa ditambah gula aren, dan ditambah berbagai macam bumbu serta rempah-rempah, dalam sebuah kuali besar yang olahan ini diaduk-aduk dengan menggunakan sendok besar mirip dayung.

Dari istilah itulah kemduian tercetus kata hangudeg yang berarti “diaduk-aduk” sehingga makanan tersebut pada akhirnya dikenal dengan sebutan Gudeg.

BACA JUGA: Resep Makanan: Cara Membuat Kimbab Korea ala Rumahan

Gudeg Penganan yang Tak Kenal Kasta

Gudeg kini sudah kadung melekat dengan Yogyakarta, namun nyatanya makanan ini pula cukup akrab di Surakarta. Seperti diketahui, Kesultanan Mataram Islam yang didirikan Panembahan Senopati nantinya terbelah menjadi dua kerajaan besar, yakni Yogyakarta dan Surakarta, ditambah dua wilayah khusus lainnya, seperti Mangkunegaran dan Pakualaman.

Seperti ditulis oleh Heri Priyatmoko melalui artikel “Menyantap (Sejarah) Gudeg” (8 Maret 2019), Ia mengungkapkan bahwa proses penyebaran gudeg terbaca dari Serat Centhini (1814-1823) di lingkungan Kasunanan Surakarta.

Selain itu, lanjut Heri, dalam Serat Jatno Hisworo juga diriwayatkan, Raja Surakarta, Pakubuwana IX (1861-1893), pernah memborong nasi gudeg dan nasi liwet untuk menjamu rombongan kesenian yang akan menghibur keluarga istana dengan sajian musik karawitan semalam suntuk.

Raja Yogyakarta saat ini, Sultan Hamengkubuwana X, tulis Joko Darmawan dalam buku Mengenal Budaya Nasional: Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa (2017), juga sangat menggemari gudeg, khususnya gudeg manggar. Demikian pula dengan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana IX.

Dari dulu hingga kini, gudeg memang disukai oleh berbagai kalangan, baik raja-raja maupun rakyat banyak. Hal ini menjadikan gudeg sebagai penganna yang tak mengnal kasta. Sentra rumah makan yang menyajikan penganan gudeg ini tersebar di sekitar Keraton Yogyakarta, semisal di Wijilan, Gading, Ngasem, dan lainnya. (EK)

Editor: Putri
    Bagikan  

Berita Terkait