BLORA, DEPOSTJOGJA
Cuaca Kota Blora hari itu Kamis, (24/06/2021) mendung, langit selatan Blora terlihat awan menghitam sepertinya sudah hujan di selatan Blora. Bergegas menuju selatan Blora kurang lebih 7 kilometer, dan benar saja baru setengah perjalanan jalanan terlihat basah baru saja turun hujan. Akhirnya tiba ditempat tujuan yaitu Kampung Samin yang terletak di Pedukuhan Karangpace, Desa Klopoduwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora Jawa-Tengah. Karena sudah cukup lama tidak mengunjungi lokasi ini, sempat salah masuk jalan, lupa atau sudah rindu jadi asal belok saja.
Jika anda dari arah Blora makan akan menemukan Gapura dan petunjuk Kampung Samin, masuk saja lalu anda akan melalui jalan konblok namun jika hujan akan licin, perlu berhati-hati. Begitu sampai akan terlihat Pendopo Samin, kami langsung memarkirkan kendaraan di dekat kediaman Mbah Lasiyo.Ada yang berubah dari kediaman Mbah Lasiyo, sekarang terasnya untuk menyambut tamu, ada dua meja panjang dan empat kursi sedan panjang. Kebetulan saat berkunjung Mbah Lasiyo sedang ada tamu, dan kami disambut dengan senyum khas Mbah Lasiyo, dan mempersilahkan duduk. Beliau bertanya tentang siapa kami, dari mana berasal. Lalu saya memperkenalkan diri, sambil mengingatkan beliau, maksud kedatangan kami silaturahmi dan mengabarkan bahwa Ayah kami Pak Warso sudah meninggal pada Hari Jumat, (18/06/2021), karena Ayah kami pernah bertugas diarea hutan dimana Mbah Lasiyo tinggal, dan dulu pertama kali diajak berkunjung ke masyarakat adat Samin bersama Beliau Pak Warso.
BACA JUGA: Al-Manadhir, This 1000-Year-Old Book Reveals the Origin and Principles of How Cameras Work
Suasana saat itu hujan rintik, kami ngobrol banyak hal terutama tentang pandangan hidup masyarakat adat Samin atau Saminisme, perlu diketahui bahwa Mbah Lasiyo secara formal adalah pemimpin dari Paguyuban Samin Sikep "Manungga Rasa" karena masyarakat adat Samin atau keturunan dan pengikut ajaran Samin tersebar dibeberapa daerah seperti, Tuban, Pati, Kudus, Bojonegoro, dan Blora sendiri. Menurut Mbah Lasiyo bahwa dahulu ada tiga pemuda satu perguruan mereka adalah Suro Sumanto yang mengembangkan ajarannya di Pulau Bali, lalu Samin Surosentiko yang menetap di Kedungtuban, Kradenan, Randublatung, Blora, lalu yang ketiga adalah Suro Samin yang memiliki nama lain "Mbah Engkrek". Menurut Mbah Lasiyo beliau keturunan dari Suro Samin, urutan silsilahnya Mbah Engkrek Mempunyai Putra Bernama Rasiman (Mbah Godeg), Lalu Mbah Godeg mempunyai Putra bernama Lasiban, lalu Mbah Lasiban mempunyai Putra Mbah Lasiyo, dan beliaulah yang saat ini meneruskan ajaran Samin.
Ajaran Samin dihayati oleh setiap orang Samin, ajaran itu adalah memberikan tuntunan dan membimbing manusia untuk berbuat baik, jujur, tidak boleh panjang tangan, tidak menyakiti hati orang lain, tidak membenci sesama, mereka percaya bahwa dengan melakukan ajaran Samin akan terlepas dari "Hukum Karma", siapa yang melanggar akan mendapat hukuman sesuai dengan perbuatannya. Selain itu pandangan masyarakat Samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkan alam secukupnya (misalnya, mengambil kayu bakar)tidak pernah mengeksploitasi, ini sesuai dengan pandangan hidup sederhana dari masyarakat Samin, tidak berlebihan dan apa adanya. Menurut Mbah Lasiyo bahwa Tanah ibarat "Ibu" sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka, memperlakukan tanah sebaik-baiknya, dan masyarakat Samin paham dan sadar kekayaan alam habis atau tidak tergantung pada pemakainya.
BACA JUGA: Hasil MotoGP Belanda: Fabio Quartararo Kokoh, Marquez Fantastis, Rossi Crash
Obrolan kami terus berlanjut sambil menikmati asap tembakau, dan teh panas buatan "Mbah Wedok" atau Mbah Waini istri dari Mbah Lasiyo. Menurut Mbah Lasiyo kita harus punya ilmu "titen" atau niteni, mengambil contoh, "Iki kan sasi ketigo koq iseh Ono udan gede, biasane udane nggowo penyakit" (sekarang musim kemarau, koq ada hujan lebat, biasanya akan banyak penyakit) begitu Mbah Lasiyo bertutur, tapi memang benar saat ini sedang banyak orang sakit. Sesaat sebelum kami pulang Mbah Lasiyo mendoakan "Mugi-mugi Seger Waras, Slamet Dugi Griyo", "Nggih Mbah, Matur Sembah Nuwun