Newcastle United dan Bayangan Isu HAM

Sepak Bola —Kamis, 21 Oct 2021 00:34
    Bagikan  
Newcastle United dan Bayangan Isu HAM
image/ pinterest

DEPOSTJOGJA

Oleh: Amir Machmud NS

SEJAK berdiri pada 1892, boleh jadi tak pernah sebesar ini perhatian dunia kepada Newcastle United FC.
Fans The Magpies, termasuk sejumlah legenda yang merindukan kembalinya klub ke papan atas Liga Primer, mungkin hanya berpikir tentang gambaran kegempitaan.
Mereka membayangkan keriuhan Stadion St James Park dengan kemenangan demi kemenangan yang menimbulkan kebanggaan, seperti pada musim 1995-1996 dan 1996-1997. Ketika itu, David Ginola dkk menduduki posisi runner up. Dengan penampilan impresif selalu menjadi penantang serius di empat besar.

Nama-nama besar menjadi pilar yang identik dengan sejarah klub. Kita kenang pemain flamboyan Prancis David Ginola, striker subur Andy Cole yang kemudian hijrah ke Manchester United, sayap cepat Keith Gillespie, penyerang legendaris Alan Shearer, Michael Owen, Kyran Dryer, hingga striker temperamental asal Kolombia, Faustino Asprilla.
Newcastle meredup seiring dengan keterbatasan dukungan finansial, lantaran tidak punya investor kuat seperti yang kemudian mem-back up Chelsea dan Manchester City. Setelah sempat menjadi penghuni empat besar, mereka hanya mampu bersaing di papan tengah, bahkan sempat terdegradasi ke Divisi Championship pada 2009 dan 2016.

Solusi Finansial

Problem investasi akhirnya menemukan solusi ketika saham mayoritas klub diakuisisi oleh Muhammad bin Salman (MBS), Putra Mahkota Arab Saudi yang memimpin konsorsium Public Investment Fund (PIP), PCP Capital Partners, dan RB Sports & Media.
Konsorsium itu mengakuisisi Newcastle dari St James Holdings Limited dengan nilai 305 juta paund atau sekitar Rp 5,8 triliun. Tiga perusahaan itu memiliki aset kolektif sebesar 320 miliar paund (Rp 6.199 triliun).

Proyeksi tentang renovasi tim pun segera terbayangkan. Newcastle bakal mendatangkan kembali para bintang untuk bersaing. Bahkan sudah muncul otak-atik, siapa saja pemain yang akan diplot dalam dalam jendela transfer Januari nanti.
Namun respons euforia itu pada sisi lain segera menyulut resistensi. Para aktivis hak asasi manusia (HAM) dan Amnesty Internasional menyoal keterlibatan MBS ke klub Liga Primer.

Baca juga: Rekomendasi Menonton FIlm Dengan Suasana Baru

Baca juga: Mainan Masa Jadul yang Mulai Hilang

Baca juga: Menikmati Indahnya Air Jernih di Gili Bidara Lombok


MBS gencar dikaitkan dengan skandal HAM, yakni dugaan pembunuhan wartawan Jamal Kasshoghi di Istanbul pada 2019. Putra Mahkota Kerajaan Saudi itu disebut-sebut sebagai aktor intelektual.
Opini pun mengalir mem-pressure Newcastle United dan FA Inggris.
Selain isu HAM, muncul kritik sejumlah tokoh terhadap pola penguatan tim lewat jalan instan. Kritik itu senada dengan yang dialami Chelsea ketika merenovasi diri pada awal 2000-an di bawah taipan Rusia Roman Abramovich, atau dalam momen pengambilalihan Manchester City oleh Sheikh Mansour al-Suleimany.

Suara-suara itu juga mirip dengan respons pembelian Paris St Germain di Liga Peancis oleh konsorium Qatar pimpinan Nasser al-Khelaifi.
Yang disoal adalah fenomena pragmatisme membangun tim. Hanya mengandalkan uang untuk membeli pemain dinilai bukan sebagai jalan yang sehat, sama seperti ketika AC Milan menciptakan The Dream Team pada era 1980 hingga awal 1990-an.
Jurgen Klopp, pelatih Liverpool seperti dikutip AFP mengingatkan, uang tidak begitu saja menghasilkan kesuksesan. “Apa artinya ini bagi sepak bola? Beberapa bulan kami memiliki masalah dengan klub-klub yang membangun Liga Super. Tapi ini soal membangun tim super, jaminan tempat di Liga Champions dalam beberapa tahun”.


Fans Newcastle, menurut dia akan suka, tetapi uang tidak membeli kesuksesan. “Mereka punya uang untuk membuat kesalahan, tetapi pada akhirnya mereka akan berada di tempat yang mereka inginkan,” tuturnya.
Pada sisi lain, realitas itu juga menjadi bagian dari jawaban untuk merawat klub dan industri kompetisi. Bukankah klub-klub yang punya akademi kuat nyatanya juga butuh mendatangkan pemain-pemain bintang? Barcelona, Real Madrid, Bayern Murnchen, atau Manchester United misalnya.
Artinya, dibutuhkan kompromi realitas. Membangun tim tidak asal ditempuh dengan jalan instan, melainkan sebagai elemen industri kompetisi. Bagaimana pun, klub tetap membutuhkan penguatan daya tarik dengan kehadiran bintang-bintang yang sudah matang.
Pada sisi ideal, memperkuat modal akademi klub merupakan pilihan yang non-pragmatis. Maka kolaborasi ideal tetaplah menggabungkan potensi dasar akademi dengan mengetengahkan magnet industrial lewat transfer-transfer pemain matang.

Baca juga: Wisata Galaxy Waterpark Menyajikan Suasana yang Asri

Baca juga: Cafless Waterpark Lombok Bermain Air Dengan Nuansa Alam Pegunungan yang Indah

Baca juga: Simak! Bisnis di Era Digital yang Bermanfaat Saat Pandemi


Singgungan HAM

Masalah Newcastle bukan hanya tentang sikap pembinaan. Yang krusial adalah isu HAM. Amnesty International menggambarkannya sebagai “pukulan pahit bagi para pembela hak asasi manusia”.
Bagaimana sikap resmi FA atas opini tentang kehadiran Muhammad bin Salman di St James Park? Bagaimana pula sikap otoritas sepak bola Inggris mengenai tudingan terhadap keterlibatan MBS dalam pembunuhan Jamal Khasshogi?
Kriminalitas memang tidak serta merta dapat dikaitkan dengan eksistensi sebuah klub, namun ketika menyangkut ranah HAM, persoalannya menjadi lain.

HAM merupakan percik nurani universal, sehingga bersikap enteng terhadap masalah ini bisa dipandang sebagai cara berpikir yang anti-HAM. Atau setidak-tidaknya kemasabodohan.
Masuknya kuasa uang MBS ini diperkirakan masih bakal memunculkan perdebatan-perdebatan sengit. Perang opini tak terhindarkan. Dan terbukti, kepentingan ekonomi olahraga tidak steril dari usikan HAM.
Apakah fans The Magpies bakal menikmati kembalinya kejayaan dengan kondisi finansial baru? Atau tekanan soal HAM akhirnya memunculkan realitas sikap, yang secara paikologis bakal mengganggu perjalanan klub?
Kontroversi besar agaknya tidak bisa dihindarkan oleh FA dan Newcastle, ketika dunia sepak bola harus berhadapan dengan opini sensitif tentang kekuasaan, uang, manusia, dan kemanusiaannya.
Jangan-jangan, kolaborasi antara industri kompetisi dengan isu sensitif HAM seperti dalam kasus Newcastle dan MBS sejatinya adalah wujud hipokritas kapitalisme global.

-- Amir Machmud NS, wartawan senior, kolumnis sepak bola, dan penulis buku.

Baca juga: Newcastle United dan Bayangan Isu HAM

Baca juga: Wisata Galaxy Waterpark Menyajikan Suasana yang Asri

Editor: Rere
    Bagikan  

Berita Terkait