Oleh: Amir Machmud NS
SAMBUTLAH, ini dia “Master Titi-Taka” yang sejati. Xavi Hernandez!
Publik Camp Nou sedang dalam buncah harapan, menanti “Satrio Piningit” yang akan memulihkan luka-luka dan mengembalikan kejayaan Barcelona.
Ronald Koeman telah dipecat oleh manajemen Barcelona, menyusul hasil-hasil yang memprihatinkan, dan pudarnya identitas klub yang identik dengan permainan menyerang nan indah itu.
Di antara sejumlah spekulasi nama, pilihan sebagai Sang Messias akhirnya jatuh kepada Xavi, sosok yang pernah menjadi bagian -- bahkan “ruh” -- dari kejayaan Barcelona di bawah pelatih “ideolog”, Pep Guardiola dari 2008 hingga 2013.
Mengapa Xavi yang dipilih?
Sejak masih bermain, dia sering diposisikan layaknya pelatih. Banyak yang sudah membaca, Xavi bukan sekadar pemain, playmaker, kapten, melainkan juga sosok kunci pengendali operasionalisasi taktik tim. Tak hanya dalam kesatuan keajaiban Barca, tetapi juga dalam tim nasional Spanyol yang merajai dunia pada 2008 hingga 2012.
Media menjulukinya “The Puppet Master”, “dalang”, dan tentu saja predikat itu menggambarkan peran yang lebih dalam orkestrasi permainan tiki-taka.
Dia memang lekat dengan filosofi tiki-taka, sebagai sang pengendali “lakon” dalam permainan yang khas Barcelona itu. Termasuk perannya bersama La Furia Roja ketika meraih Euro 2008 dan 2012, serta Piala Dunia 2010.
Arsitek Masa Depan
Semasa masih bermain, Xavi sudah sering diproyeksikan bakal menjadi arsitek masa depan Blaugrana. Dia seperti Pep Guardiola, pemain yang dari muda sudah digadang-gadang oleh sang mentor, Johan Cruyff untuk suatu masa kelak, menjadi penggantinya.
Pep telah membuktikan visi Cruyff, bahkan saat bertualang ke Bundesliga dan Liga Primer, dia mampu menciptakan tim atraktif, Bayern Muenchen dan Manchester City yang “berbeda”.
Xavi punya nilai plus sebagai “pelaku” tiki-taka yang paripurna. Gaya bermain yang didoktrinkan ke klub Al Sadd di Liga Qatar membuktikan prediksi tentang masa depannya tidak jauh meleset. Selain bukti sejumlah trofi yang diraih, dia mampu membentuk Al Sadd sebagai klub dengan gaya bermain yang betul-betul menjadin “reinkarnasi” Barcelona pada masa jayanya.
Tiki-taka sebagai bentuk lain sepak bola posesif mengalirkan bola dan perputaran pemain secara rancak, ofensif, dan elok. Gaya bermain yang menghibur itu, selain dimiliki Al Sadd, dalam beberapa segi kini juga menjadi identitas Manchester City dan klub asuhan Stevan Gerard di Liga Skotlandia, Glasgow Rangers.
Baca juga: Resep Makanan Sushi Nigiri yang Mudah Dibuat di Rumah
Baca juga: Bisa Timbulkan Penyakit Mental pada Remaja? Jangan Dianggap Sepele!
Baca juga: Resep Dodol Nanas Khas Subang yang Manis dan Segar
Pembuktian Xavi dengan karya itulah yang membuat manajemen Barca dengan penuh keyakinan mengusungnya sebagai pengganti Ronald Koeman.
Tentu banyak yang bertanya: sudah saatnyakah dia menjadi arsitek entitas seagung Barca?
Pertanyaan itu sama seperti ketika pada 2008 Pep Guardiola dipromosikan sebagai pelatih tim utama dari Barcelona B. Sama pula dengan spekulasi luar biasa manajemen Rangers di Liga Skotlandia untuk mendatangkan Gerard sebagai pelatih utama.
Melatih Barca adalah eksepsionalitas. Dia boleh berjaya di Qatar, mengibarkan bendera kejayaan Al Sadd. Tetapi Barcelona?
Justru produk di Liga Qatar itu, menurut saya, menjadi parameter tersendiri. Di sebuah Liga Timur Tengah -- yang boleh dibilang tidak sekompetitif liga-liga Eropa --, membangun dan menciptakan karakter kuat dalam permainan, tentu tidak semudah itu dibayangkan. Kesimpulannya, Xavi memiliki kelebihan, menjadi pelopor dan pengendali, sama seperti ketika dia menjadi faktor pembeda bagi permainan Barcelona dan tim nasional Spanyol.
Perlu Diberi Ruang
Kini dia sudah kembali “mendarat” di Camp Nou. Inilah sejarah.
Lalu, apakah keterpilihan pria 41 tahun itu untuk mengarsiteki klub dengan nama besar sekelas Barclona adalah sebuah spekulasi?
Penunjukan pelatih membawa konsekuensi tertentu. Tentu tidak akan ada yang bisa menjamin, bintang besar, kapten tim yang berkarisma, atau pemain yang memiliki pengaruh, bakal memberi kekuatan kepemimpinan dalam menangani sebuah klub. Lembaran sejarah sepak bola sudah memaparkan catatan. Andrea Pirlo misalnya, baru saja gagal menuntaskan tugas pertamanya sebagai pelatih di Juventus. Bryan Robson dan Thiery Henry juga belum memperlihatkan tuahnya sebagai pelatih.
Barca sudah lama mengincar dan memproyeksikan Xavi Hernandez. Kiprahnya semasa bermain, antara lain dengan memberi “pelayanan prima” mengatur tempo dan umpan-umpan yang memanjakan Lionel Messi merupakan bukti dia punya kemampuan sebagai pengendali.
Julukan “The Puppet Master” tentu tak akan disematkan oleh media apabila dia tidak memperlihatkan bukti kehebatan dalam faktor “pengendalian” itu.
Setelah sukses “magang” di Liga Qatar, apa yang sesungguhnya bisa diharapkan dari seorang Xavi Hernandez?
Pertama, dia paham tentang detail filosofi dan kultur sepak bola Barcelona. Kedua, dia punya kekuatan karakter kepemimpinan sebagai sosok pengendalian. Ketiga, di Al Sadd Xavi kreatif dalam menyusun skema inovatif yang bernuansa tiki-taka. Keempat, punya passion sebagai “anak kandung” Akademi La Masia yang kemudian menjadi legenda Barca.
Baca juga: Wisata Broken Beach yang Menyajikan Sejuta Tempat Foto
Baca juga: Drama Korea Hellbound, Kemunculan Malaikat Maut yang Membuat Semua Orang Takut
Baca juga: Resep Cemilan Cireng Kuah Pedas Gurih dan Krispi
Setidak-tidaknya, keempat faktor itulah yang menjadi pembeda, misalnya dengan para pendahulunya, dari Quique Setien, Ernesto Valverde, hinga Ronald Koeman yang unuk sementara digantikan oleh pelatih karteker Sergi Barjuan.
Disadari, tak mudah “memulihkan” luka Barcelona, yang dalam dua musim terakhir dihajar oleh sejumlah psikologi persoalan, terutama yang terkait dengan kepergian Lionel Messi.
Sentuhan Xavi juga ditunggu dalam kreasi mengembalikan ekspresi kultural Barca, fans dan manajemen. Pada sisi lain, manajemen juga perlu memberi ruang kepada Xavi untuk menuang kreativitas dan pemahaman tentang skematika tiki-taka, membangun sumberdaya manusianya.
Proyek “ideologis” semacam ini memang menuntut keserentakan sikap yang berbeda. Tak bisa bersanding dengan alur pikir pragmatis dalam ekspresi kapitalisme industri kompetisi. Jika ukurannya hasil-hasil instan, rasanya bukan itu jalan pikiran mendatangkan Xavi.
Mampukah Xavi memulihkan luka Barca, bahkan menjadi figur pembebas?
Dia butuh perlakuan yang berbeda. Dari sisi waktu, kebebasan berkreasi, dan kelonggaran menemukan identitas...
-- Amir Machmud NS, wartawan senior, kolumnis sepak bola, dan penulis buku.
Baca juga: Vacation to Timang Beach with a different atmosphere
Baca juga: Dia Terukir Di Batu-Batu Penyaksi
Baca juga: Simak Tanda Hypophrenia, Merasa Sedih Tapi Tidak Penyebabnya